Kamis, 27 September 2012

NABI KHIDIR AS BERGURU KEPADA IMAM ABU HANIFAH DAN MENJADI GURU PENULIS SERIBU KITAB


Bukti Nabi Khidir AS bisa berumur panjang adalah adanya kisah-kisah yang menyebutkan bahwa beliau sudah ada sejak zaman Nabi Musa AS, lalu beliau juga pernah bertemu dengan Rasulullah SAW, dan bahkan pernah berguru ilmu fiqih kepada Imam Abu Hanifah.

Setelah berguru kepada Imam Abu Hanifah beliau mengajarkan ilmunya kepada Abul Qasim Al Qusyairi si jenius yang pernah menulis seribu kitab.


Memang membingungkan jika dipikir. Sesungguhnya Nabi Khidir AS pernah menjadi guru Nabi Musa AS. Namun Nabi Khidir AS sendiri dikabarkan berguru kapada imam Abu Hanifah. Namun bagi mereka yang biasa membaca literatur pengalaman spiritual para nabi dan para wali, tidaklah menjadi heran dan bingung, sebab agama bukanlah sekedar hal-hal yang masuk akal, kadangkala ada beberapa yang hanya dipercayai dan diyakini.

Diriwayatkan: “ Abu Hanifah pernah berjumpa dengan sayyidina Khidir, dan dia (Khidir) belajar ilmu-ilmu Fiqih kepadanya:’

Para ulama berkisar: “ Allah SWT telah menganugerahkan suatu keistimewaan berupa ilmu fiqih yang luas kepada Abu Hanifah. Sehingga sayyidina Khidir pun berguru tentang ilmu itu kapada sang alim AL-Mutafaqqih itu setiap hari menjelang waktu Subuh sampai waktu kurang lebih 30 tahun lamanya.

Tatkala Abu Hanifah meninggal dunia, Khidir bermunajat kepada Allah SWT. “Ya Tuhanku apabila Engkau berkenan menerima do’aku, pertemukanlah aku dengannya (Abu Hanifah) di akhirat kelak, seperti Engkau mempertemukan kami setiap hari waktu kami masih di dunia. Karena dia adalah guruku yang mendidikku tentang ilmu-ilmu Fiqih, sehingga aku berpengetahuan begini supaya aku dapat menjadi saksi akan ke alimannya.”

Dikatakan kepada Khidir: “Hai Khidir, datanglah engkau ke kuburannya, dan pelajarilah hikmah-hikmah yang akan kau dapatkan di sana.”

Khidir melakukan perintah yang disuarakan itu hingga waktu dua puluh lima tahun setelah kewafatan Abu Hanifah. Setelah itu Khidir berkata: “Ya Tuhanku sakarang apakah yang harus kuperbuat?”

Disuarakan kembali kepadanya: “ Pergilah engkau kesuatu kampung yang ramai penduduknya. Kemudian didiklah putera-puteri mereka dengan Ilmu-ilmu pengetahuan tentang fiqih!”

NABI KHIDIR AS MENJADI GURU PENULIS SERIBU KITAB

Demikianlah setelah mereguk ilmu dari Imam Hanifah di masa hidup dan sesudah meninggalnya maka diserukan kapada Nabi Khidir agar pergi ke suatu kampung.

Lalu Khidir pun memenuhi anjuran yang diserukan tadi. Beberapa saat kemudian, di sebuah kampung yang terletak di pinggiran aliran sebuah sungai, orang-orang penduduk daerah itu ramai membicarkan berita tentang sosok seorang ulama, yang sangat disegani, dikagumi dan dihormati karena kewibawaan, keluasan Ilmunya dan jasa-jasa yang disumbangkan atas hidup mereka tanpa pamrih yang menjadi harapannya hanyalah ridha Allah SWT semata. Namanya adalah Abul Qasim Al-Qusyairi. Ulama besar ini dibesarkan oleh seorang ibu yang amat dipatuhi nasehat-nasehatnya, beliau di hormati sebagai bunda yang melahirkannya melebihi kehormatannya kepada siapapun setelah Allah SWT. Ketika masih kanak-kanak, Abul Qasim Al-Qusyairi rajin membantu pekerjaan ibunya tercinta, hingga dia menginjak masa remaja. Suatu ketika Abul Qasim Al-Qusyairi menemui ibunya dan menyatakan hasratnya kepada ibunya “Wahai ibuku, sekarang aku semakin dewasa, setiap hari aku selalu bersama ibu membantu apa yang dikerjakan ibu, kadang pula berkumpul dengan teman-temanku untuk bermain. Tetapi kini aku ingin sekali pergi ke negeri Bukhara guna menuntut ilmu-ilmu pengetahuan disana. Maka restuilah anakmu ibu.”

Lalu ibunya berkata “Guna mencapai cita-citamu ini, memang  tidaklah cukup bagimu berdiam bersamaku di kampung ini, kau harus pergi kesana anakku. Agar jasa mulia dapat kau abdikan kepada agama kita. Aku merestuimu nak, maka pergilah ummatmu menunggumu!”

Sebelum Abul Qasim Al-Qusyairi meninggalkan ibunya, dia mengajak seorang teman yang akan mendampinginya belajar di negeri yang jauh itu. Begitu tiba saatnya bersafar (melakukan perjalanan). Ibu Abul Qasim Al-Qusyairi melepaskannya dengan air mata kesedihan yang dialirkan oleh cita-cita sucinya untuk menyerukan agama kepada masyarakat desa setiba puteranya dari perantauan kelak. Dia (sang ibu) berdiri di depan pintu rumahnya seraya berucap : “Ya Tuhanku seandainya Engkau tidak berkenan untuk mempertemukanku dengan puteraku lagi, aku rela mati berdiri di tempat ini juga, sehingga Engkau memulangkannya kemari!”

Seusai kejadian yang mengharukan keluarga shaleh itu, Abul Qasim Al-Qusyairi langsung berangkat mengikuti arah peta geografis yang dia ketahui dari orang-orang yang datang dari negeri yang hendak disafarinya, sedang dia sendiri lupa bahwa pakaian yang dikenakannya adalah baju najis, karena diperciki air kencingnya saat dia bekerja di rumah. Maka dia berkata kepada sahabatnya: “Hai sahabatku, sebentar aku hendak pulang ke rumah dan segera akan kembali kemari, tetapi boleh engkau pergi terlebih dahulu. Karena aku teringat bajuku yang najis ini, bila aku tidak menggantinya, aku takut najis itu mengotoriku sampai di negeri Bukhara. Kalau masih tetap begitu keadaanku, aku khawatir ilmu-ilmu yang akan aku pelajari dari guru kita di sana akan menjadi penutup jalan menuju hidayah Tuhanku sampai aku tersesat karenanya, na udzubillahi mindzalika”

Maka pulanglah Al-Qusyairi ke rumahnya, dan mendapatkan sang ibu masih tetap berdiri di tempat beliau semula. Lalu beliau menyambut puteranya dan memeluknya, beliau berkata;
 “Alhamdulillah !”

Kemudian Allah SWT memerintahkan Khidir untuk menemui Al-Qusyairi:”Temuilah Abul Qasim Al-Qusyairi, putera ibu yang shalehah itu, dan ajarkanlah ilmu-ilmu yang telah kau pelajari dari Abu Hanifah alaihissalam kepadanya, karena dia pergi bersafar di atas jalan yang di restui ibunya !”

Selanjutnya, Khidir menjumpai Abul Qasim Al-Qusyairi guna menurunkan ilmu-ilmu Fiqih. Dia berkata: “Engkau berniat melakukan safar bersama temanmu untuk mencari ilmu dengan membiarkan ibumu sendirian di kampung ini. Maka, biarlah aku akan mendatangi kediamanmu ini setiap hari, dan kau akan belajar bersamaku.”

Sejak pertemuan pertama kali antara Khidir dengan Abul Qasim Al-Qusyairi itu, dia (Khidir) datang kembali pada keesokan harinya, dan keesokan harinya;

Begitulah seterusnya. Waktu belajar itu berakhir setelah mencapai masa tiga tahun tanpa terasa. Karena saat belajarnya dirasakan cukup sampai disitu, maka Khidir mengucapkan salam perpisahan, sebagai ungkapan rasa syukur yang dihaturkan kepada Allah SWT Dzat yang telah menganugerahinya ilmu-ilmu Fiqih melalui seorang perantara yang alim (Abu Hanifah) selama waktu tiga puluh tahun. Sehingga Khidir dapat menuai ilmu yang dipelajarinya dan berhasil mencapai keinginannya menyelami lautan hakekat. Sama halnya dengan Al-Qusyairi, dia dituntunnya ke lautan yang tidak semudah manusia mencapainya (Hakekat). Akhirnya dia menuangkan ilmu pengetahuan yang dipelajarinya lewat gemblengan sayyidina Khidir alaihisalam ke dalam karya-karya tulisnya sebanyak seribu kitab.

Al-Barzanji berkata “Sesungguhnya Abul Qasim Al-Qusyairi itu adalah termasuk tokoh-tokoh imam mahzab Asy-Syafi iyyah yang terkemuka, dia amat alim di bidang ilmu Fiqih, ilmu Kalam, ilmu Tasawwuf, sebagaimana dia menyusun sebuah risalah yang berjudul “Al-Mudawalah Bainal Muslimin Syarqan wan Gharban” (pergantian orang-orang muslim Timur dan Barat).

Selain risalah tersebut, Abul Qasim Al-Qusyairi mempunyai kumpulan-kumpulan karya tulis yang lain, berupa risalah maupun kitab-kitab Tafsir dan jumlahnya tidak kurang dari seribu karya tulis. Akan tetapi nilai pengetahuannya diatas angka itu.

Menilik kemampuannya dalam berbagai bidang ilmu agama maka dapat dibayangkan betapa jeniusnya murid Nabi Khidir AS ini. Abul Qasim Al-Qusyairi boleh jadi memang telah menyerap sebagian besar dari ilmu-ilmu Nabi Khidir AS yang paling dalam, dimana ilmu-ilmu tersebut memang berasal dari Allah SWT.

Dalam perjalanannya dengan Nabi Musa AS, Nabi Khidir AS pernah memaparkan betapa ilmu Allah SWT itu sangatlah luas, ilmu yang dimiliki manusia ibarat setetes air di lautan.

Jika ilmu Allah SWT dituliskan dengan air laut sebagai tintanya dan ditambah lagi dengan seluruh cairan atau tinta yang ada di seluruh planet dan jagad raya, maka semua itu tidak akan mampu menuliskan sebagian kecil dari ilmu Allah SWT.

Maka dari itu seseorang tidak boleh menyombongkan setitik ilmu yang dimilikinya. Sebab tak kurang orang seperti Abul Qasim Al-Qusyairi yang pernah menulis seribu kitab tetap tawadhu dan tidak menjadi sombong.
Disarikan dari sumber-sumber terpilih.

0 komentar:

Posting Komentar