Bukti Nabi Khidir AS bisa berumur panjang adalah adanya kisah-kisah yang menyebutkan bahwa beliau sudah ada sejak zaman Nabi Musa AS, lalu beliau juga pernah bertemu dengan Rasulullah SAW, dan bahkan pernah berguru ilmu fiqih kepada Imam Abu Hanifah.
Setelah berguru kepada Imam Abu
Hanifah beliau mengajarkan ilmunya kepada Abul Qasim Al Qusyairi si jenius yang
pernah menulis seribu kitab.
Memang membingungkan jika dipikir.
Sesungguhnya Nabi Khidir AS pernah menjadi guru Nabi Musa AS. Namun Nabi Khidir
AS sendiri dikabarkan berguru kapada imam Abu Hanifah. Namun bagi mereka yang
biasa membaca literatur pengalaman spiritual para nabi dan para wali, tidaklah
menjadi heran dan bingung, sebab agama bukanlah sekedar hal-hal yang masuk
akal, kadangkala ada beberapa yang hanya dipercayai dan diyakini.
Diriwayatkan: “ Abu Hanifah pernah
berjumpa dengan sayyidina Khidir, dan dia (Khidir) belajar ilmu-ilmu Fiqih
kepadanya:’
Para ulama berkisar: “ Allah SWT telah
menganugerahkan suatu keistimewaan berupa ilmu fiqih yang luas kepada Abu
Hanifah. Sehingga sayyidina Khidir pun berguru tentang ilmu itu kapada sang
alim AL-Mutafaqqih itu setiap hari menjelang waktu Subuh sampai waktu kurang
lebih 30 tahun lamanya.
Tatkala Abu Hanifah meninggal dunia,
Khidir bermunajat kepada Allah SWT. “Ya Tuhanku apabila Engkau berkenan
menerima do’aku, pertemukanlah aku dengannya (Abu Hanifah) di akhirat kelak,
seperti Engkau mempertemukan kami setiap hari waktu kami masih di dunia. Karena
dia adalah guruku yang mendidikku tentang ilmu-ilmu Fiqih, sehingga aku berpengetahuan
begini supaya aku dapat menjadi saksi akan ke alimannya.”
Dikatakan kepada Khidir: “Hai
Khidir, datanglah engkau ke kuburannya, dan pelajarilah hikmah-hikmah yang akan
kau dapatkan di sana.”
Khidir melakukan perintah yang
disuarakan itu hingga waktu dua puluh lima tahun setelah kewafatan Abu Hanifah.
Setelah itu Khidir berkata: “Ya Tuhanku sakarang apakah yang harus kuperbuat?”
Disuarakan kembali kepadanya: “
Pergilah engkau kesuatu kampung yang ramai penduduknya. Kemudian didiklah
putera-puteri mereka dengan Ilmu-ilmu pengetahuan tentang fiqih!”
NABI KHIDIR AS MENJADI GURU PENULIS
SERIBU KITAB
Demikianlah setelah mereguk ilmu
dari Imam Hanifah di masa hidup dan sesudah meninggalnya maka diserukan kapada
Nabi Khidir agar pergi ke suatu kampung.
Lalu Khidir pun memenuhi anjuran
yang diserukan tadi. Beberapa saat kemudian, di sebuah kampung yang terletak di
pinggiran aliran sebuah sungai, orang-orang penduduk daerah itu ramai
membicarkan berita tentang sosok seorang ulama, yang sangat disegani, dikagumi
dan dihormati karena kewibawaan, keluasan Ilmunya dan jasa-jasa yang
disumbangkan atas hidup mereka tanpa pamrih yang menjadi harapannya hanyalah
ridha Allah SWT semata. Namanya adalah Abul Qasim Al-Qusyairi. Ulama besar ini
dibesarkan oleh seorang ibu yang amat dipatuhi nasehat-nasehatnya, beliau di
hormati sebagai bunda yang melahirkannya melebihi kehormatannya kepada siapapun
setelah Allah SWT. Ketika masih kanak-kanak, Abul Qasim Al-Qusyairi rajin
membantu pekerjaan ibunya tercinta, hingga dia menginjak masa remaja. Suatu
ketika Abul Qasim Al-Qusyairi menemui ibunya dan menyatakan hasratnya kepada
ibunya “Wahai ibuku, sekarang aku semakin dewasa, setiap hari aku selalu
bersama ibu membantu apa yang dikerjakan ibu, kadang pula berkumpul dengan
teman-temanku untuk bermain. Tetapi kini aku ingin sekali pergi ke negeri
Bukhara guna menuntut ilmu-ilmu pengetahuan disana. Maka restuilah anakmu ibu.”
Lalu ibunya berkata “Guna mencapai
cita-citamu ini, memang tidaklah cukup
bagimu berdiam bersamaku di kampung ini, kau harus pergi kesana anakku. Agar
jasa mulia dapat kau abdikan kepada agama kita. Aku merestuimu nak, maka
pergilah ummatmu menunggumu!”
Sebelum Abul Qasim Al-Qusyairi
meninggalkan ibunya, dia mengajak seorang teman yang akan mendampinginya
belajar di negeri yang jauh itu. Begitu tiba saatnya bersafar (melakukan
perjalanan). Ibu Abul Qasim Al-Qusyairi melepaskannya dengan air mata kesedihan
yang dialirkan oleh cita-cita sucinya untuk menyerukan agama kepada masyarakat
desa setiba puteranya dari perantauan kelak. Dia (sang ibu) berdiri di depan pintu
rumahnya seraya berucap : “Ya Tuhanku seandainya Engkau tidak berkenan untuk
mempertemukanku dengan puteraku lagi, aku rela mati berdiri di tempat ini juga,
sehingga Engkau memulangkannya kemari!”
Seusai kejadian yang mengharukan
keluarga shaleh itu, Abul Qasim Al-Qusyairi langsung berangkat mengikuti arah peta
geografis yang dia ketahui dari orang-orang yang datang dari negeri yang hendak
disafarinya, sedang dia sendiri lupa bahwa pakaian yang dikenakannya adalah
baju najis, karena diperciki air kencingnya saat dia bekerja di rumah. Maka dia
berkata kepada sahabatnya: “Hai sahabatku, sebentar aku hendak pulang ke rumah
dan segera akan kembali kemari, tetapi boleh engkau pergi terlebih dahulu.
Karena aku teringat bajuku yang najis ini, bila aku tidak menggantinya, aku
takut najis itu mengotoriku sampai di negeri Bukhara. Kalau masih tetap begitu
keadaanku, aku khawatir ilmu-ilmu yang akan aku pelajari dari guru kita di sana
akan menjadi penutup jalan menuju hidayah Tuhanku sampai aku tersesat
karenanya, na udzubillahi mindzalika”
Maka pulanglah Al-Qusyairi ke
rumahnya, dan mendapatkan sang ibu masih tetap berdiri di tempat beliau semula.
Lalu beliau menyambut puteranya dan memeluknya, beliau berkata;
“Alhamdulillah !”
Kemudian Allah SWT memerintahkan
Khidir untuk menemui Al-Qusyairi:”Temuilah Abul Qasim Al-Qusyairi, putera ibu
yang shalehah itu, dan ajarkanlah ilmu-ilmu yang telah kau pelajari dari Abu
Hanifah alaihissalam kepadanya, karena dia pergi bersafar di atas jalan yang di
restui ibunya !”
Selanjutnya, Khidir menjumpai Abul
Qasim Al-Qusyairi guna menurunkan ilmu-ilmu Fiqih. Dia berkata: “Engkau berniat
melakukan safar bersama temanmu untuk mencari ilmu dengan membiarkan ibumu
sendirian di kampung ini. Maka, biarlah aku akan mendatangi kediamanmu ini
setiap hari, dan kau akan belajar bersamaku.”
Sejak pertemuan pertama kali antara
Khidir dengan Abul Qasim Al-Qusyairi itu, dia (Khidir) datang kembali pada
keesokan harinya, dan keesokan harinya;
Begitulah seterusnya. Waktu belajar
itu berakhir setelah mencapai masa tiga tahun tanpa terasa. Karena saat belajarnya
dirasakan cukup sampai disitu, maka Khidir mengucapkan salam perpisahan,
sebagai ungkapan rasa syukur yang dihaturkan kepada Allah SWT Dzat yang telah
menganugerahinya ilmu-ilmu Fiqih melalui seorang perantara yang alim (Abu
Hanifah) selama waktu tiga puluh tahun. Sehingga Khidir dapat menuai ilmu yang
dipelajarinya dan berhasil mencapai keinginannya menyelami lautan hakekat. Sama
halnya dengan Al-Qusyairi, dia dituntunnya ke lautan yang tidak semudah manusia
mencapainya (Hakekat). Akhirnya dia menuangkan ilmu pengetahuan yang
dipelajarinya lewat gemblengan sayyidina Khidir alaihisalam ke dalam
karya-karya tulisnya sebanyak seribu kitab.
Al-Barzanji berkata “Sesungguhnya Abul
Qasim Al-Qusyairi itu adalah termasuk tokoh-tokoh imam mahzab Asy-Syafi iyyah
yang terkemuka, dia amat alim di bidang ilmu Fiqih, ilmu Kalam, ilmu Tasawwuf,
sebagaimana dia menyusun sebuah risalah yang berjudul “Al-Mudawalah Bainal
Muslimin Syarqan wan Gharban” (pergantian orang-orang muslim Timur dan Barat).
Selain risalah tersebut, Abul Qasim
Al-Qusyairi mempunyai kumpulan-kumpulan karya tulis yang lain, berupa risalah
maupun kitab-kitab Tafsir dan jumlahnya tidak kurang dari seribu karya tulis.
Akan tetapi nilai pengetahuannya diatas angka itu.
Menilik kemampuannya dalam berbagai
bidang ilmu agama maka dapat dibayangkan betapa jeniusnya murid Nabi Khidir AS
ini. Abul Qasim Al-Qusyairi boleh jadi memang telah menyerap sebagian besar
dari ilmu-ilmu Nabi Khidir AS yang paling dalam, dimana ilmu-ilmu tersebut
memang berasal dari Allah SWT.
Dalam perjalanannya dengan Nabi Musa
AS, Nabi Khidir AS pernah memaparkan betapa ilmu Allah SWT itu sangatlah luas,
ilmu yang dimiliki manusia ibarat setetes air di lautan.
Jika ilmu Allah SWT dituliskan
dengan air laut sebagai tintanya dan ditambah lagi dengan seluruh cairan atau
tinta yang ada di seluruh planet dan jagad raya, maka semua itu tidak akan
mampu menuliskan sebagian kecil dari ilmu Allah SWT.
Maka dari itu seseorang tidak boleh
menyombongkan setitik ilmu yang dimilikinya. Sebab tak kurang orang seperti
Abul Qasim Al-Qusyairi yang pernah menulis seribu kitab tetap tawadhu dan tidak
menjadi sombong.
Disarikan dari sumber-sumber terpilih.
0 komentar:
Posting Komentar