Namanya
Hendro Subroto. Wartawan perang kawakan. Barangkali Anda tak kenal
sosoknya. Tapi ia adalah salah satu saksi sejarah Gerakan 30 September
1965. Hendro mangkat pada 14 Oktober 2010 di usia ke-71 karena sakit.
Dalam wawancara yang dimuat di Majalah Tempo edisi 11 Maret 2001,
Hendro mengaku salah satu mosaik pengalaman yang tak terlupakan baginya
adalah mengabadikan pengangkatan jenazah enam jenderal dan seorang
kapten pahlawan revolusi dari Lubang Buaya pada 4 Oktober 1965. Kala itu
dia bertugas sebagai juru kamera TVRI.
Puluhan tahun
diam, akhirnya Hendro berani mengatakan apa yang dia lihat. Dia
mengungkapkan beberapa detail yang menyimpang dari apa yang kemudian
dipublikasikan dalam sekian buku sejarah dan film-film versi Orde Baru.
"Tubuh para jenderal itu tidak disayat-sayat," ujarnya kepada wartawan Tempo Edy Budiyarso dan Hermien Y. Kleden, Maret 2001.
Menurut almarhum Hendro, jenazah itu diambil empat hari setelah mereka
dibunuh. Jarak antara ia dan jenazah hanya sekitar tiga sampai empat
meter. Sempat tak kuat mencium aroma busuk jenazah, Hendro melipir.
Namun, ia balik lagi ke lokasi. Ia melihat jenazah-jenazah itu
dikeluarkan dari Lubang Buaya langsung dipindahkan ke dalam peti. Selama
sekitar tiga menit ia merekam semua peristiwa itu. "Dari jarak itu saya
tidak melihat adanya bekas-bekas penyiksaan," ujarnya.
Hendro menyimpulkan para jenderal itu tidak disiksa sebagaimana
digambarkan di film-film dan cerita buku sejarah. Ia melihat hanya luka
tembak, tidak ada bekas luka aniaya atau disayat-sayat. "Orang mati
karena penganiayaan dan penembakan akan menghasilkan kondisi jenazah
yang berbeda. Paling tidak, kan terlihat bekas-bekasnya," ujarnya.
Kata Hendro, kulit seseorang yang ditusuk puntung rokok akan segera
menggelembung karena reaksi tubuh pada kulit. Orang yang meninggal
karena dipukul dan dianiaya juga akan terlihat bekas-bekasnya pada
jenazah. Begitupun dengan publikasi yang menyebutkan bahwa alat kelamin
para jenderal itu disayat-sayat, Hendro membantahnya. Kala diwawancara,
Hendro lalu masuk ke kamarnya dan keluar membawa setumpuk foto
hitam-putih. Ia memperlihatkan salah satu foto.
"Alat
kelamin jenderal ini tidak dipotong dan disayat-sayat. Coba Anda lihat.
Masih utuh, kan? Tujuh jenazah itu memang telanjang saat diangkat,"
ujarnya. Hasil yang pasti, Hendro melanjutkan, orang bisa melakukan
autopsi untuk menentukan sebab-sebab kematian yang lebih tepat.
Sayangnya, hasil liputan Hendro pun "dibumbui". Liputan itu disiarkan
TVRI selama tiga hari berturut-turut, disertai narasi yang mengungkapkan
betapa keji cara PKI membunuh mereka. Pembunuhan berlangsung ketika
pesta Gerwani (organisasi wanita PKI). Begitupun dengan kelamin serta
anggota tubuh para korban disayat-sayat. Liputan itu membakar amarah
rakyat, yang kemudian menjadi dalih pembantaian dan prosekusi puluhan
tahun kepada orang-orang PKI serta mereka yang dituduh komunis.
Film "Pengkhianatan G-30-S/PKI" yang dibuat pada 1984 tak jauh beda
dengan laporan tersebut. Sinema ini kemdudian wajib diputar dan ditonton
di televisi tiap 30 September, sepanjang pemerintahan Orde Baru. Film
ini menjadi upaya pembelokan sejarah demi kekuasaan dan hegemoni massal
melalui media. Peristiwa pembunuhan para Jenderal dan petinggi Angkatan
Darat secara sadis dan tidak berperikemanusiaan direkam dalam film
"Pengkhianatan G 30 S/PKI".
Runtuhnya pemerintahan rezim
Soeharto membuat banyak pihak mempertanyakan kebenaran sejarah termasuk
yang digambarkan dalam film ini. Lantaran dianggap sebagai propaganda
Orde Baru, Yunus Yosfiah menteri penerangan pada 1998 kemudian melarang
pemutarannya.
0 komentar:
Posting Komentar