Sabtu, 13 Oktober 2012

Kisah Seorang Lelaki Shaleh Dan Iblis

 
Pada awalnya suami istri itu hidup tenteram dan bahagia. Meskipun miskin, mereka taat kepada perintah Tuhan. Semua yang dilarang Allah dihindari, dan mereka tekun beribadah. Sang Suami adalah seorang yang alim yang taqwa dan tawakkal. Tetapi sudah beberapa lama istrinya mengeluh terhadap kemiskinan yang tiada habis-habisnya itu. Ia memaksa suaminya agar mencari jalan keluar. Ia membayangkan alangkah senangnya hidup jika semuanya serba cukup.

Pada suatu hari, lelaki yang alim itu berangkat ke ibu kota, ingin mencari pekerjaan. Di tengah perjalanan ia melihat sebatang pohon besar yang tengah dikerumuni banyak orang. Ia mendekat. Ternyata orang-orang itu sedang memuja-muja pohon yang konon keramat dan sakti itu. Banyak juga kaum wanita dan pedagang-pedagang yang meminta agar suami mereka setia atau dagangannya laris.

“Ini syirik,” fikir lelaki yang alim tadi. “Ini harus diberantas habis. Masyarakat tidak boleh dibiarkan menyembah serta meminta selain Allah.” Maka pulanglah sang alim dengan tergesa-gesa. Istrinya heran, mengapa secepat itu suaminya kembali. Lebih heran lagi waktu dilihatnya sang suami mengambil sebilah kapak yang diasahnya tajam. Lantas lelaki alim tadi bergegas keluar. Istrinya bertanya tetapi ia tidak menjawab. Segera dinaiki keledainya dan dipacu dengan cepat ke pohon itu. Sebelum sampai di tempat pohon itu berdiri, tiba-tiba  sesosok tubuh tinggi besar dan hitam melompat di depan sang alim. Dia adalah iblis yang menyamar sebagi manusia.

“Hai, mahu ke mana kamu?” tanya si iblis.
Orang alim tersebut menjawab, “Saya akan menuju ke pohon yang disembah-sembah orang bagaikan menyembah Allah. Saya sudah berjanji kepada Allah akan menebang  pohon syirik itu hingga roboh.”
“Kamu kan tidak di rugikan dengan adanya pohon itu. Yang penting kamu tidak ikut-ikutan syirik seperti mereka. Sudah pulang saja.”
“Tidak bisa, kemungkaran harus diberantas,” jawab si alim bersikap tegas.
“Berhenti, jangan teruskan!” bentak iblis marah.

“Akan saya teruskan!”
Karena masing-masing tegas pada pendirian, akhirnya terjadilah perkelahian antara orang alim tadi dengan iblis. Kalau melihat perbedaan badannya, seharusnya orang alim itu dengan mudah di kalahkan oleh iblis. Namun ternyata iblis menyerah kalah dan meminta ampun. Kemudian dengan berdiri menahan sakit dia berkata, “Tuan, maafkanlah kelakuan saya. Saya tidak akan berani lagi mengganggu tuan. Sekarang pulanglah. Saya berjanji, setiap pagi, apabila Tuan selesai menunaikan shalat  Subuh, di bawah tikar Tuan akan saya  sediakan uang emas empat dinar. Cepatlah pulang dan jangan teruskan niat Tuan untuk menebang pohon  itu,”

Mendengar janji iblis yang akan memberikan uang emas empat dinar, lunturlah kekerasan tekad si alim tadi. Ia membayangkan  isterinya yang akan hidup berkecukupan. Ia teringat akan rengekan isterinya agar menafkahinya dengan layak. Setiap pagi empat dinar, maka dalam sebulan saja dia sudah  menjadi orang kaya. Membayangkan rengekan isterinya itu maka pulanglah sang alim. Pupus sudah niatnya semula yang hendak memberantas kemungkaran.

Demikianlah, semenjak pagi itu isterinya tidak pernah marah lagi. Hari pertama, ketika si alim selesai shalat, dibukanya tikar shalatnya. Betul di situ tergolek empat benda berkilau, empat dinar uang emas. Dia meloncat kegirangan dan isterinya gembira. Begitu juga di hari yang kedua. Empat dinar emas. Dan pada hari ketiga, matahari mulai terbit dan dia membuka tikar shalat, masih didapatinya uang itu. Tapi pada hari keempat dia mulai kecewa. Di bawah tikar shalatnyanya tidak ada apa-apa lagi keculai tikar pandan yang rapuh. Isterinya mulai marah karena uang yang kemaren sudah habis semua.
Si alim dengan lesu menjawab, “Jangan khuatir, barangkali besok  kita bakal dapat delapan dinar sekaligus.”
Keesokkan harinya, harap-harap cemas suami-isteri itu bangun pagi-pagi. Selesai shalat ketika dibuka tikar sajadahnya ternyata masih juga kosong.
“Kurang ajar. Penipu,” teriak si isteri. “Ambil kapak, tebanglah pohon itu.”
“Ya, memang dia telah menipuku. Akan aku tebang pohon itu semuanya hingga ke ranting dan daun-daunnya,” sahut si alim itu.
Maka segera ia mengeluarkan keledainya. Sambil membawa kapak yang tajam dia memacu keledainya menuju ke arah pohon yang di sembah itu. Dan ternyata iblis yang berbadan tinggi besar tersebut sudah menghadang di tengah jalan. Sambil berteriak, “Mahu ke mana kamu?” hardiknya menggelegar.

“Saya akan  menebang pohon itu,” jawab si alim dengan gagah berani.
“Berhenti, jangan lanjutkan.”
“Tidak bisa, saya akan tetap menebang pohon tersebut hingga tumbang.”
Maka terjadilah kembali perkelahian yang hebat. Tetapi kali ini bukan iblis yang kalah, tapi si alim yang terkulai. Dalam kesakitan, si alim tadi bertanya dengan nada heran, “Dengan kekuatan apa engkau dapat mengalahkanku, padahal dulu engkau tidak berdaya sama sekali ?”
Iblis itu dengan angkuh menjawab, “Tentu saja engkau dulu boleh menang, kerana waktu itu engkau keluar rumah untuk Allah, demi Allah. Andaikata saya kumpulkan seluruh bala tentaraku menyerangmu sekalipun, aku takkan mampu mengalahkanmu. Sekarang kamu keluar dari rumah hanya kerana tidak ada uang di bawah tikar sejadahmu. Maka biarpun kau keluarkan seluruh keahlianmu, tidak mungkin kamu mampu menjatuhkan aku. Pulang saja. Kalau tidak, kupatahkan nanti batang lehermu.”

Mendengar penjelasan iblis ini si alim tadi termangu-mangu. Ia merasa bersalah, dan niatnya memang sudah tidak ikhlas kerana Allah lagi. Dengan terhuyung-huyang ia pulang ke rumahnya. Dibatalkan niat semula untuk menebang pohon itu. Ia sedar bahawa perjuangannya yang sekarang adalah tanpa keikhlasan karena Allah, dan ia sadar perjuangan yang semacam itu tidak akan menghasilkan apa-apa selain dari kesia-sian yang berlanjutan . Sebab tujuannya adalah karena harta benda dan mengalahkan keutamaan Allah dan agama. Bukankah berarti ia menyalahgunakan agama untuk kepentingan hawa nafsu semata?

“Barangsiapa di antaramu melihat suatu kemungkaran, hendaklah (berusaha) memperbaikinya dengan tangannya (kekuasaan), bila tidak mungkin hendaklah berusaha memperbaikinya dengan lidahnya (nasihat), bila tidak mungkin pula, hendaklah mengingkari dengan hatinya (tinggalkan). Itulah selemah-lemah iman.”
(HR Riwayat Muslim)

0 komentar:

Posting Komentar